Udara pagi ini terasa sejuk, embun pagi dengan ramah membelai lembut wajahku. Kupandangi sekeliling, dapat kulihat berbagai aktifitas yang dilakukan oleh sekian banyak orang. Ada yang sedang antri makanan gratis, antri kopi gratis, ada pula yang sedang asyik mengikuti instruktur senam aerobik sementara aku sendiri sedang melakukan aktifitas lari pagi. Yah begitulah keadaan di luar stadion bola senayan setiap hari minggu dan aku termasuk orang yang rutin berada di lokasi ini pada hari minggu pagi. Kuabaikan kembali keadaan sekelilingku dan kembali ku terhanyut dengan kesejukan pagi. Hingga tiba-tiba terjadi insiden yang mengacaukan aktifitasku.
Gubrak…
Seorang lelaki berwajah tampan dan berbadan atletis menabrak badanku, hingga tubuhku terpelanting dan terhempas di tanah. Aku berusaha bangkit dari hempasan yang begitu menyakitkan, namun rasa sakit menyulitkanku untuk berdiri. Perlahan lelaki itu pun merendahkan tubuhnya dan menatap wajahku. Kulekatkan pandanganku pada wajahnya dan kuubah raut wajahku untuk mengekspresikan kekesalanku.
“Maaf… maaf… gue nggak sengaja!! Loe nggak apa-apa kan?”
Lelaki itu spontan meminta maaf dan mencoba menolongku, namun rasa kesal belum dapat sirna dari hati kecilku, hingga amarahku terlepas begitu saja.
“Sakit tau!!! Kalau jalan pakek mata dong!! Punya mata nggak sih?”
“Punya!! Maaf ya! Gue beneran nggak sengaja, tapi kayanya ada yang salah ama kata-kata loe!!” Lelaki itu menjawab dengan sedikit melepaskan senyuman dari bibir tipisnya.
“Apaan yang salah?” Aku menjawab dengan nada penasaran. Menurutku kata-kataku tak ada yang salah, lalu kenapa dia mengatakan hal itu. Wajahku yang menahan kesal spontan berubah menjadi raut wajah yang penuh rasa ingin tahu.
“Kata guru gue kalau jalan tuh pakek kaki, bukan pakek mata, hehehehe!!”
Bisa-bisanya dia bercanda di saat seperti ini!! Membuat makin dahsyat kekesalan di dalam hatiku.
“Diem loe!! Nggak lucu tau!!” Kini amarahku terlihat lagi di wajahku.
“Ya memang nggak lucu, gue kan bukan pelawak!! Hehehe…” Dia kembali menjawab dengan leluconnya.
Kini amarahku makin menjadi, begitu menyebalkan mahluk di hadapanku ini. Udah salah, tapi masih bisa cengar-cengir kaya kuda.
“Loe bisa jalan nggak? Sini gue bantu loe jalan ke pinggir, ntar kalau masih di tengah gini bisa ketabrak ama yang lagi pada lari. Mau loe makin sakit?” Dia mengulurkan tangannya dan menatap mataku dengan tajam.
Aku tak sanggup membalas tatapannya, maka kupalingkan pandanganku pada tangannya dan kusambut uluran tangannya. Sekilas kupandang wajahnya dengan ekor mataku, hingga dapat kulihat senyuman yang mengembang di bibirnya. Kubiarkan tubuh kekarnya merengkuh tubuh kecilku. Di dalam dekapannya, jantungku berdetak kencang, entah apa yang terjadi pada jantungku. Detakannya tak bisa beraturan, membuat sekujur tubuhku lemas tak berdaya. Sesaat aku dan dia telah berada di tepi, perlahan ia mencoba membantuku untuk duduk. Ia memegang kakiku dan dengan lembut ia memijat kakiku yang sepertinya terkilir.
“Kaki loe kayanya terkilir nih!! Rumah loe di mana?”
“Kenapa tanya-tanya rumah gue?” Aku menjawab dengan nada sinis, karena rasa kesal di hatiku masih tersisa walaupun kini telah semakin berkurang.
“Weits, judes amat!! Gue cuma mau bantuin loe aja!! Loe nggak akan bisa pulang dengan keadaan kaki loe kaya gini!! Mau gue anterin nggak?”
Mendengar ucapannya detak jantungku kembali berdetak dengan kencang setelah sempat beberapa menit berdetak dengan normal. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, dia sudah mengajukan beberapa pertanyaan lagi padaku.
“Loe naik apa? Ke sini sama sapa?”
Sesaat aku mengembangkan senyumku dan mencoba menjawab pertanyaannya satu per satu.
“Gue tadi kesini naik bus dan gue ke sini sendirian.”
“O.. gitu, ya udah!! Gue anterin aja ya?!”
Sekali lagi dia menawarkan bantuan kepadaku dan kali ini aku hanya mampu menjawab dengan anggukan serta senyum yang terlepas dari bibirku. Melihat anggukan dan senyumanku, dia pun bergegas membantuku untuk berdiri dan berjalan menuju parkiran mobilnya.
Dalam perjalanan aku hanya mampu terdiam dan dia pun tak banyak berkata-kata. Namun keadaan itu tak berlangsung lama karena dia berusaha membuat keadaan sunyi itu berubah menjadi mengasyikkan. Kami pun terlibat dalam pembicaraan yang panjang, hingga membuat kami saling memperkenalkan diri. Anton namanya dan sekarang dia masih menjadi siswa SMU Negeri 3 Jakarta. Sempat sesaat aku tak mempercayainya, karena postur tubuh dan facenya lebih pantas menjadi seorang mahasiswa semester pertama seperti diriku.
Tanpa sadar aku telah sampai di depan kostku. Aku memang bukan asli orang Jakarta, aku pendatang dari kota Yogyakarta. Banyak orang yang bingung dengan diriku, kota asalku adalah kota pelajar. Kota di mana banyak orang yang datang untuk menuntut ilmu, tapi berbeda dengan diriku. Aku pergi meninggalkan kota kelahiranku dan memilih Jakarta untuk menuntut ilmu. Sebenarnya aku memiliki alasan tersendiri memilih Jakarta sebagai tempat untuk hidup. Semenjak Bunda tiada, aku hanyalah sebatang kara di dunia ini. Aku memiliki saudara dari Bunda, namun saudara-saudaraku tak berkenan menampung diriku. Dan kini aku harus berjuang sendiri untuk hidup, hingga akhirnya aku menemukan buku diari Bunda.
Begitu terkejutnya diriku saat aku mengetahui isi dari diari itu. Ternyata Ayahku yang selama ini kuketahui telah tiada masih hidup. Bunda sengaja menyembunyikan semua itu padaku agar aku tak mencari ayahku. Entah apa alasan Bunda melakukan semua ini dan aku tak mungkin menanyakan semua itu pada Bunda. Namun rasa ingin tahuku terus menghantui, aku hanya ingin tahu kenapa Bunda melakukan semua ini. Dengan berbekal foto Ayah yang kutemukan di buku diari Bunda, aku memutuskan mencari Ayah.
Aku tak tahu pasti dimana ayahku berada, yang aku tahu Bunda menyatakan di dalam diarinya bahwa ayahku berada di Jakarata dan itu alasan utamaku meninggalkan kota kelahiranku. Pertemuanku dengan Anton mempermudah aku mencari Ayah, karena selama ini aku kesulitan mencari Ayah. Maklum, aku seorang pendatang di Ibukota ini. Jadi aku tak begitu mengetahui jalan-jalan di kota Jakarta. Dalam pembicaraan yang panjang dengan Anton, aku mengutarakan alasanku datang kekota Jakarta. Dan aku mencoba meminta tolong pada Anton untuk mengantarkanku mencari Ayah jika ia ada waktu luang. Tak ku sangka Anton menyanggupi permohonanku, ia bersedia mengantarkanku mencari Ayah. Begitu baiknya Tuhan kepadaku, hingga ia memberikan Anton untuk menolongku.
Semenjak hari itu, setiap pulang sekolah Anton selalu datang ke kostku atau ke kampusku untuk menjemputku dan mengantarku ketempat-tempat yang alamatnya tertulis di buku diari Bunda. Satu bulan sudah aku dan Anton mencari Ayahku, namun belum juga aku menemukan Ayah. Kebersamaan kami ternyata tak hanya sebuah kebersaman suatu teman atau sahabat. Kebersamaan kami ternyata membuahkan perasaan yang berbeda dan itu tak hanya kurasakan sendiri. Anton pun sepertinya merasakan hal yang sama, hingga suatu ketika Anton mengutarakan perasaannya padaku.
“Tita…” Anton memanggil namaku dengan lembut.
“Ya, ada apa Ton?” Aku menjawab dengan perasaan yang tak menentu.
Aku tak ingin memandang wajahnya, namun tangannya menuntun wajahku untuk menatap wajahnya. Meskipun aku tak sanggup, namun aku tak kuasa menahannya. Mungkin wajahku yang memerah akan terlihat olehnya.
“Mmm…gue mau ngomong sesuatu ama loe.” Dia berkata dengan menatap mataku dalam-dalam.
Hatiku semakin tak menentu, bahkan aku tak mampu mengartikan perasaanku saat ini. Aku hanya mampu terdiam dan membalas tatapannya.
“Selama satu bulan kita jalan bareng, gue ngerasa ada yang beda dalam hati gue. Gue nggak tahu perasaan apa itu, tapi yang pasti gue ngerasa nyaman dan tenang di deket loe. Gue bahkan nggak mau kehilangan loe.”
Kata-kata Anton terhenti, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tapi yang pasti saat ini jantungku berdetak dengan sangat kencang. Kupandangi wajahnya lekat-lekat, nampak ketulusan terukir dengan jelas.
“Mmm…Tita, gue nggak terlalu pandai merangkai kata-kata indah untuk ungkapin perasaan gue. Jadi gue cuma bisa bilang, gue sayang loe Tita. Gue nggak mau kehilangan loe. Apa loe punya perasaan yang sama kaya gue? Apa loe mau jadi kekasih gue?”
Tersentak aku mendengar kata-katanya, hingga membuat jantungku berdetak semakin kencang dan membuat sekujur tubuhku lemas tak berdaya. Entah apa yang aku rasakan sekarang, aku tak mampu mengutarakannya. Rasa bahagia, terharu, kaget dan bingung bercampur menjadi satu.
“Tita…kenapa loe diam aja?”
Aku hanya mampu tertunduk, bibirku seperti melekat dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
“Tita…”
Lagi-lagi Anton memanggil namaku dengan lembut dan mengenadahkan wajahku yang sempat sesaat tertunduk. Aku menatap mata Anton dalam-dalam, tergambar suatu harapan yang besar di dalamnya. Perlahan aku berusaha membuka bibirku untuk menguntai kata yang mampu mengutarakan perasaan ku selama ini.
“Ton…” Aku terdiam sejenak, kupandang lagi matanya lekat-lekat.
“Gue bingung harus jawab apa!! Tapi perasaan gue selama ini, nggak jauh beda ama perasaan loe.”
Hanya itu yang mampu kuucapkan dan aku kembali tertunduk. Anton berusaha mengenadahkan wajahku dengan tangannya dan ia tatap wajahku dengan senyum yang terlepas dari bibirnya. Aku tak mengerti arti senyumannya, namun aku dapat merasakan kebahagiaan yang terpancar dari binar matanya.
“Berarti… loe mau jadi kekasih gue?”
Kali ini pertanyaan Anton hanya kujawab dengan anggukan. Dan seketika itu Anton menarik tubuhku kedalam pelukannya, perlahan ia dekatkan bibirnya pada dahan telingaku.
“Makasih Tita. Aku sayang kamu.” Tiba-tiba kata-kata itu berbisik lembut dan membuat hatiku terasa damai.
Hari ini adalah hari yang terindah bagi diriku, aku seperti mutiara yang berharga setelah sekian lama aku menjadi lumpur yang kotor. Anton membuat diriku menjadi seorang putri raja yang cantik dan sangat bahagia. Hari-hari bersamanya diselimuti dengan kebahagiaan yang tak pernah terbayangkan olehku. Tanpa sadar sudah tiga bulan kebersamaanku dengan Anton berlalu dan selama itu Anton menjadi sumber kebahagiaanku. Hingga suatu rahasia terungkap dan membuat aku terbangun dari mimpi panjangku yang begitu membahagiakanku.
Mimpi itu memudar ketika Anton mengajakku untuk berkunjung kerumahnya, tanpa sengaja aku melihat foto keluarga di ruang tamu. Aku tersentak kaget melihat seorang laki-laki separuh baya yang ada dalam foto keluarga itu. Dengan perlahan dan perasaan yang tak menentu kubuka dompetku. Perlahan kupandang foto Ayah yang selama ini kucari. Astaga!! Begitu terkejutnya aku , karena ternyata Ayah yang aku cari selama ini adalah ayahnya Anton. Berarti kekasihku yang selama ini menjadi sumber kebahagiaanku adalah adikku.
Sungguh aku tak sanggup menerima kenyataan ini. Sekarang aku baru mengetahui alasan Bunda merahasiakan semua ini dariku. Bunda tak ingin masa lalu Ayah merusak kebahagiaan yang telah Ayah miliki selama ini. Hatiku perih menerima kenyataan ini, air mataku terlepas dan membasahi pipiku. Aku tak ingin keadaanku yang kacau ini terlihat oleh Anton dan aku tak mau Anton mengetahui semua rahasia ini. Biarlah semua ini menjadi masa lalu Ayah dan aku. Biarlah hanya aku dan Tuhan yang tahu akan kenyataan ini. Bergegas aku meninggalkan rumah Anton, aku berlari sejauh mungkin. Agar tak dapat terlihat lagi rumah Anton dan Ayah. Air mataku terus membasahi pipiku, aku tak mampu menghentikannya. Hatiku semakin sakit ketika hpku berbunyi dan saat kulihat pada layar hpku muncul nama Anton. Tak lama setelah telepon terhenti, SMS masuk pada hpku. Perlahan kubuka SMS itu.
“Sayang, kamu ada dimana? Kok pergi nggak bilang-bilang? Aku kebingungan cariin kamu!!”
SMS itu dari Anton, begitu perih aku membaca pesan yang terdapat pada SMS yang Anton kirim untukku. Aku mencoba mengendalikan perasaanku dan mencoba mengetik pesan untuk Anton.
“Anton..maafin aku. Aku harap kamu bisa terima keputusan aku. Aku ingin semua ini kita akhiri dan aku mohon lupakan aku.”
Sesaat setelah pesanku terkirim, ada pesan yang masuk lagi ke hpku. Mungkin itu pesan dari Anton. Dengan perasaan yang perih dan sakit, kucoba membaca pesan yang dikirim Anton.
“Kamu kenapa Tita? Kenapa kamu mutusin aku? Apa aku ada salah sama kamu? Tolong kasih penjelasan yang bisa aku terima!!”
Air mataku semakin tak tertahankan, aku tak sanggup memberikan alasan yang sebenarnya pada Anton. Aku tak mungkin mengungkapkan rahasia ini, aku tak mungkin mengatakan bahwa hubungan ini harus berakhir karena aku kakaknya.
“Maafin aku Anton. Aku tak sanggup mengatakan alasannya padamu. Biarlah ini menjadi sebuah rahasia.”
Pesan itu menjadi akhir dari segalanya dan sekarang aku kembali seorang diri. Tapi aku tak pernah menyesal mengenal Anton, adikku tersayang. Dan aku sudah cukup bahagia telah menemukan Ayah, walaupun aku tak dapat memeluknya. Terima kasih Tuhan untuk semua yang Kau berikan padaku. Terima kasih Anton untuk kebahagiaan yang kau berikan dan maafkan aku. Biarlah aku pergi dengan mengubur rahasia ini.
0 comments:
Post a Comment