Berbagai cara sudah aku coba untuk bisa melupakan sosoknya dengan selalu mengenang kejadian menyakitkan yang pernah terjadi dua belas tahun yang lalu, tapi tetap saja aku tak pernah bisa lupa. Entah kenapa sosok dirinya masih begitu melekat erat dalam hatiku, bahkan semakin parah saja, sehingga membuatku tetap sendiri di usiaku yang sudah menginjak dua puluh sembilan tahun ini. Kenapa tak ada pria yang bisa menggantikan posisinya di hatiku? Kenapa aku tetap mencintainya meskipun berulang kali dia menyakiti perasaanku? Kenapa aku begitu bodoh? Sampai kapan aku mau terus begini?
“Aya.” Suara Mama membelah lamunanku. Segera aku mengubah ekspresi sedih di wajahku, aku tak mau Mama tahu keresahanku.
“Apa, Ma?”
“Besok Tante Erni datang. Bukan apa-apa sih. Ehm, maksudnya beliau mau mengenalkan putranya ke kamu.”
Lagi-lagi… Kutarik nafas panjang. Sudah tiga kali ini Mama berbuat begini. Aku sih maklum saja, itu semua karena kedua adik perempuanku sudah menikah.
”Kamu masih belum menyerah kan, Ya?”
Kutarik bibirku mencoba tersenyum.
“Sebenarnya Aya sudah capek, Ma. Tapi buat Mama, Aya akan selalu coba.”
Mama mendatangiku lalu mengusap rambutku.
“Bukan maksud Mama menjodohkan kamu. Ya, Mama cuma mau bantu.”
Aku anggukkan kepalaku.
“Thanks, Ma.”
***
Seperti kata Mama kemarin, Tante Erni, teman SMU Mama, datang. Aku pun bergegas merapikan rambut panjangku, dan masih tetap dengan perasaan dingin aku keluar kamar. Sama seperti yang kurasakan saat kedatangan kedua teman Mama yang lain sebelum ini. Aku berhenti sejenak di depan pintu saat memandang pria bertubuh tinggi yang saat ini tengah berdiri berhadapan dengan Mama, dan itu artinya membelakangi aku. Sejenak aku terkesima. Sosok itu mirip… Tapi model rambutnya berbeda. Jantungku mulai berdebar, lalu kuhela nafasku panjang. Kenapa dari belakang sosoknya mirip sekali dengan Andre? Pria yang selama ini tak mampu hilang dari pikiranku.
“Aya.” Mama melambaikan tangannya ke arahku, mataku terus menatap pria itu nanar. Aku pun melangkah mendekat, sambil terus mencoba menenangkan diri. Sedangkan pria itu sama sekali tak menoleh ke arahku. Tante Erni tersenyum.
“Hai, Ya,” sapanya.
“Malam, Tante,” balasku.
“Kenalin nih.”
Deg!!! Jantungku benar-benar copot, yang benar saja… Dia benar-benar Andrean Satria.
“Hai Ya, kita ketemu lagi,” sapanya sambil mengulurkan tangannya. Dengan hati gundah gulana aku balas jabatan tangannya yang hangat.
“Lho kalian kok,” ucap Mama bingung.
“Aya dan Andre sempat berteman waktu SMU, Ma,” ucapku.
“Berteman?” balas Andre.
Ups! Aku merasa konyol mengatakannya, tapi…
“Sebenarnya kami sempat pacaran. Bukan begitu, Ya?”
Andre tetaplah Andre, orang yang suka bicara blak-blakan dan apa adanya.
“Wah kebetulan dong kalo gitu,” ucap Tante Erni seraya tersenyum menggodaku.
“Kalo gitu, kalian nostalgialah dulu. Mama sama Tante Erni masuk ke dalam dulu.”
Lalu mereka berdua meninggalkan kami. Cukup lama aku terdiam, canggung rasanya meskipun mungkin pertemuan kembali ini sangat aku harapkan.
“Kamu masih sama seperti dulu, Ya. Cantik dan lugu,” kata Andre memecahkan keheningan.
Namun aku masih diam, aku malah kembali teringat saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Kejadian itu sangat menyakiti aku. Tanpa sadar airmataku pun menitik, dan Andre mengusapnya dengan lembut.
“Aku minta maaf, Ya,” katanya.
Maaf? Kenapa satu kata itu tak pernah terpikir olehku? Apakah aku bisa memaafkannya atas kejadian itu? Kalo tidak, kenapa aku masih menyimpan perasaan cinta padanya? Kenapa semua ini ternyata begitu membuatku bingung? Aya, apa sih maumu? Katamu cuma Andre, dan sekarang dia telah berdiri di depanmu, tapi kamu nggak bisa mengucapkan apapun. Bahkan kata maaf pun tak pernah terpikirkan olehmu?!?
“Aku ingin mengulangi semuanya dari awal, kalo kamu nggak keberatan, Ya. Aku ingin memperbaiki hubungan kita dulu.”
Andre ingin memperbaikinya. Ini kan yang aku seharusnya harapkan, tapi kenapa seolah aku tak bisa mengharapkan dia. Kenapa aku ini?
Terbayang lagi kejadian per kejadian di masa laluku. Begitu playboynya pria satu ini, putus sambung lebih dari sepuluh kali dalam satu tahun, dan yang terakhir kalinya…
“Kamu terlalu percaya diri, kalo aku nggak akan mungkin mutusin kamu, Ya,” ucapnya saat itu.
“Tapi kamu selalu minta kembali ke aku kan?” balasku tak mau kalah waktu itu.
“Itu semua ada alasannya. Mau tahu?” bisiknya “Karena kamu adalah cewek yang paling bisa aku bodohi. Hahaha….”
Sekeras mungkin aku tampar pipi Andre, sakit mungkin tapi tetap tak sesakit luka hatiku.
“Eh, kamu kira aku sungguh-sungguh mencintai kamu ya!”
Sekali lagi Andre mencelaku, dan sekali lagi hampir aku mendaratkan tamparanku yang kedua di pipinya, tapi tangannya keburu menangkapku.
“Mana ada sih cewek yang mau diajak balik setelah cowoknya menyeleweng kecuali kamu, Ya. Udah gitu sampai berulang-ulang lagi. Konyol!!!”
Tangan Andre menghempaskan tanganku keras. Hhh…
***
“Ya, Aya,” panggil Andre menyadarkan aku dari lamunanku. Aku menatapnya tajam,
“Sekali lagi untuk kesekian kalinya, An, aku maafin kamu,” kataku.
Andre tersenyum seraya menggenggam tanganku, aku segera melepaskan tanganku.
“Tapi aku bukan Aya yang dulu begitu bodoh di matamu. Aku nggak akan mengulanginya lagi.”
“Tapi aku yang sekarang juga bukan aku yang dulu, Ya, aku sudah berubah,” balas Andre.
“Apalagi kamu sudah berubah, An. Aku akan merasa belum pernah mengenal kamu, kenapa aku harus nekat pacaran dengan seseorang yang belum pernah aku kenal?”
Sungguhkah aku mengatakan ini pada Andre? Aku sendiri tak percaya. Aku yang begitu tak bisa melupakan Andre, setelah dua belas tahun ini.
“Maaf, An. Aku nggak bisa.”
Aahhhh, lega rasanya dadaku setelah sekian lama aku terkungkung dalam bayangan pria ini, seolah kini aku terbang bebas, lepas semua beban yang selama ini menghimpitku. Dan aku tak menyesal dengan keputusanku ini. Yang jelas aku bukan Aya yang bodoh lagi, sekarang aku sudah berubah. Mulai hari ini, mulai detik ini, aku sudah berubah. Aku mengembangkan senyumku yang kali ini tak aku paksakan.
“An, maaf ya,” kataku. Andre tersenyum kecut.
“Kamu merasa menang sudah menolakku?!?” katanya mengejutkan aku.
“Di sini nggak ada yang menang dan yang kalah, An.”
“Lalu kenapa kamu tersenyum?”
“Aku merasa beban yang selama ini aku tanggung, raib begitu saja. Terima kasih, An, kamu sudah membantuku menghilangkannya.”
“Aku sama sekali nggak merasa membantumu. Aku datang ke sini hanya karena aku mau tahu apakah kamu masih tetap Aya yang bodoh seperti kataku dulu.”
Deg!!! Aku menatap Andre tak percaya, dia kembali mengatakan aku bodoh.
“Dan ternyata masih tetap saja bodoh. Sudah tahu nggak bisa melupakan aku, nggak mau aku ajak balik lagi. Aku harap kamu menyesal!”
Aku terkejut, namun aku malah bahagia, bersyukur karena ternyata aku tak salah menolaknya.
“Aku nggak menyangka kamu tetap nggak berubah juga, An. Hm, pokoknya thanks deh, apapun yang kamu katakan, aku tetap thanks ke kamu. Tunggu ya, aku panggil Mama dan Tante. Aku capek mau tidur, sekali lagi thanks, An. Untung banget lho kamu datang.”
Mulai malam ini aku tak pernah lagi mengharapkan Andre. Bayangannya di hatiku sudah aku cabut seakar-akarnya hingga tak bersisa lagi. Esok hari akan aku jalani hari baru, yang lepas dari bayang-bayang Andre. Bahkan sekarang aku sempat heran, apa sih kelebihannya yang membuat aku tak bisa melupakannya? Kelebihan gengsi kali, atau aku hanya mengharapkannya, supaya bisa membalasnya? Entahlah…
0 comments:
Post a Comment