“Aaa… aaa, yuhu… uuu………!”
Kami berteriak begitu keras. Kami berteriak seolah kami telah menggenggam dunia yang berat ini. Kami berteriak lantang lagi dan huruf A berjejer keluar dari mulut kami.
“Aaa……aaa!”
Begitulah kedengarannya. Kadang aku bertanya pada diri sendiri, kenapa manusia selalu merasa bebas dengan laut, manusia seolah-olah begitu nyaman ketika mereka bercengkrama dengan laut. Apa yang membuat mereka terasa begitu istimewa? Dan anehnya, laut terkadang dijadikan sarana mistis di samping fungsinya sebagi obyek wisata yang nilai keuntungannya selalu diburu oleh manusia-manusia serakah.
“Laut, aku ingin tahu jawaban darimu, kenapa orang selalu merasa nyaman ketika bersamamu? Sihir apa yang kau gunakan sehingga mereka tertarik padamu?”
* * *
“Satu, dua, tiga, ………, dan sepuluh……”
Kami memberikan aba-aba pada ketiga kawan laki-laki kami. Aba-aba yang sepele, tak mempunyai makna yang dalam, picisan, atau hanya angka-angka yang diucapkan untuk mewakili jutaan angka yang tersebar di bumi yang menanggung beban ini.
“Untuk apa sih harus melakukan hal seperti ini, menyusahkan saja,” pikirku setengah membenci.
Mereka lari begitu cepat, semangat kuda-kudanya terpacu begitu kuat namun tidak terlalu stabil. Aku mengamati mereka cukup bahagia dengan pantai secara seksama. Ruh-ruh mereka mungkin sudah beradaptasi dengan ruh-ruh pantai. Aku yang mengikuti mereka dari belakang berhenti dan berdiri seperti patung Tuan Atlas yang nampak lelah memikul bola bumi. Andai bola itu bisa kucuri dari pundaknya yang telah kelam itu, bisakah aku menjadikannya sebuah bola bowling. Ingin rasanya kuhantam satu persatu orang-orang yang kudendami di muka bumi ini. Ingin rasanya kulakukan itu. Lumayan, hantaman yang cukup kuat untuk skor yang tinggi. Itu bisa mejadi peluang untuk prestasi yang spektakuler kan? Dan mungkin, bisa saja aku ingin menggilas pantai ini beserta kurcaci-kurcaci yang ada di dalamnya.
Orang-orang tak berguna, menyebalkan, kalian bagai tulang yang terselip di gigi, busuk bangkai. Jangankan disentuh, melihatmu saja terlalu mahal rasanya kubiarkan mata ini menyaksikanmu. Baumu busuk menusuk rongga hidungku yang tak pernah luput dari bau melati. Kalian seperti seonggokan sampah di tepian muara sungai, aku benci kalian. Aku benci kalian yang telah menstempelku dengan sebutan anjing pecundang. Akan kuhancurkan kalian, kepala kalian akan kusiram dengan timah yang mendidih sampai meleleh. Akan kupotong lidah kalian, kutusuk mata kalian yang katarak, kutusuk hidung kalian yang mendengus itu, kutusuk telinga kalian yang dungu. Pokoknya, kalian pasti akan mati.
* * *
Entahlah, kenapa hidupku tak pernah bisa bahagia selalu ada benci dan marah yang beradu dendam. Hidup terasa melelahkan meskipun ia adalah petualangan yang mau tak mau harus dilalui. Aku selalu iri pada semua orang walau mereka bilang,
“Sejujurnya aku justru iri padamu, As. Kau terlahir cukup hebat di atas rata-rata kebanyakan orang. Lalu, apa yang kau keluhkan? Harusnya dirimu bersyukur atas titah-Nya yang adil.”
Aku berjalan lontang-lantung menyusuri jalanan pantai Parang Tritis yang berpasir halus. Sendirian tanpa dikawal kawan-kawanku. Mereka begitu berisik menikmati pantai dan dengan nyali mereka yang sok pemberani mereka menuju ke tengah serta mencoba menantang ombak.
“Aa….aaa……!” Huruf A berjejer itu masih keluar dari mulut mereka yang semakin berteriak lantang.
“Hu hu, Ha ha, Hi hi.” Suara itu mengiringi teriakan kebahagiaan mereka yang amat menyebalkan.
“Asa, ikutlah dengan kami!” Seseorang berteriak memanggilku.
Aku tetap acuh menanggapinya, kupaksakan diriku untuk mengabaikan panggilan itu. Biarlah mereka bersenang-senang dengan dunia mereka, aku juga punya dunia lain yang harus kusinggahi tanpa usikan tangan-tangan mereka yang jahil. Aku terus berjalan ke arah timur tanpa menoleh sedikitpun. Orang-orang lalu lalang di kanan-kiri dan teman-temanku masih meneriakiku dari arah belakang. Semuanya bagai angin sepoi yang cepat berlalu, bagai bulu-bulu yang berterbangan.
Bukit Seribu di hadapanku berdiri perkasa menyaksikan anak manusia yang nampak kerdil di pandangannya. Ia terlihat begitu kokoh meski ombak Parang Tritis yang semakin menderu ganas menghantamnya dengan kasar. Kuhampiri ia dan semakin dekat jarakku padanya, tinggal beberapa meter saja. Semakin dekat, semakin nampak seperti Bukit Gamping yang mudah rapuh akibat kikisan erosi yang tak begitu kuketahui asalnya. Ia nampak begitu kasar dan menatapku dalam angkuhnya.
“Ternyata kau sama jeleknya dengan mereka,” kataku pada Bukit Seribu yang tengah berdiri di hadapanku.
“Kau sombong, Kawan!” tambahku.
“Apa yang kau inginkan, Manusia?” tanyanya seolah-olah ia berbicara padaku.
“Hanya ingin menikmati laut yang mukanya menyebalkan bersamamu.”
“Rupanya kau benci juga padanya,” katanya.
“Lebih dari itu, aku juga benci pada ombaknya yang berisik itu.”
“Kalau begitu kita bisa jadi sekutu, Manusia. Aku sebenarnya juga benci padanya. Gara-gara dia, sebagian tubuhku harus terkikis dan aku benci dengan garamnya yang asin sehingga aku nampak gersang dan rapuh karenanya,” kata Bukit Seribu yang setengah mengeluh padaku.
“Jangan khawatir, Kawan! Hari ini, selagi aku di sini kita buat perhitungan dengan dirinya,” sahutku membela.
Tak lama kemudian, aku naik ke atas bukit. Kucari tempat yang cukup strategis untuk membuat perhitungan dengan ombak. Sang bukit yang sombong begitu mendukung ulahku yang begitu nakal menantang ombak. Aku sampai di sebuah tempat yng terletak di pinggir bukit. Sebuah tempat yang ditumbuhi pohon kelapa yang jarang dengan sebuah batu besar yang datar mirip perosotan, langsung menghadap tempat ke laut lepas. Ombak pun dapat dengan mudah menghantam tempat itu karena jaraknya sangat terjangkau oleh tangan-tangannya.
“Hei, Ombak yang bermuka masam! Ke sini kau jika berani. Picisan, berisik suaramu,” teriakku lantang menghadap ke arahnya.
“Byuur!”
Ombak dengan kasar mengguyur tubuhku. Seketika aku basah kuyub tetapi aku tersenyum senang karena ia begitu cepat merespon panggilanku.
“Bagus, Kau. Ayo berurusan denganku! Aku menantangmu,” tambahku.
Sejenak kurasakan laut begitu tenang tak bergemuruh, ombak tak menderu hanya ombak-ombak kecil yang saling berkerjaran. Kurasakan pula angin mengalir begitu tenang, tak ada burung berkicau karenaa memang burung terlalu ogah di tempat itu. Kulihat orang-orang di tepi pantai seperti menjadi patung. Mereka diam tak bergerak, seperti membatu karena terkena sihir Draconda. Semesta seperti membisu dan mengunci rapat mulutnya untuk bertasbih. Tetapi, tiba-tiba, Byuur, ia kembali menghantamku dengan sebuah guyuran.
“Ha ha ha!” Terdengar suara tawa yang buruk dan memekakkan gendang telinga. Rumah siput seolah-olah berputar begitu cepat.
“Ha ha ha !” Suara itu kembali menggema. Terus menggema sampai berulang kali hingga aku tak bisa menghitungnya.
“Ha ha ha!” Kembali lagi dan aku muak untuk mendengarnya untuk kesekian kalinya.
“Menyebalkan! Jika kau punya nyali tunjukkan wujudmu, Bodoh!” makiku penuh emosi.
Byuur, kembali ombak mengguyur tubuhku. Aku marah semakin marah hingga memuncak menjadi dendam. Aku tak tahan lagi diperlakukan seperti ini. Aku tak suka dipermainkan.
“Hei Ombak, seenaknya saja kau mengguyurku dengan airmu yang pahit di lidah ini.”
Ombak kembali tenang namun ia nampak tersenyum picis padaku. Beberapa menit kemudian, ia kembali menderu dan semuanya kembali normal. Aku melemparinya dengan apa saja yang ada di sekitarku. Entah itu kayu, batu kerikil, aatu sandal jepit yang kupakai untuk alas kakiku.
“Kenapa kau tak mau bicara padaku? Kenapa kau begitu angkuh? Dasar, Kau! Aku akan membuatmu tersakiti. Aku akan melukaimu jika kau tak mau bicara juga denganku,” kataku setengah berteriak.
Kukeluarkan sebuah granat dari tasku, aku berniat untuk melemparnya ke laut lepas agar laut terluka dan merana. Walau sesaat tetapi akan menjadi salah satu sejarah pahit yang pernah terjadi dalam relatifitas waktu. Maka, aku puas telah membuktikan teori Einstein meskipun tidak pada putaran roda kereta api pada relnya.
“Hei, Anak manusia!” Tiba-tiba terdengar suara yang menggaung mirip suara tawa tadi. “Apa maumu berurusan denganku?” lanjutnya.
“Rupanya kau takut juga tersakiti. Baguslah kalau begitu,” sahutku.
“Kau hanya manusia kerdil, aku bisa melahapmu sebelum kau meledakkanku dan satwa-satwa yang tak berdosa di dalam laut ini.”
“Sombong sekali kedengarannya.”
“Sekarang apa maumu? Aku tak punya banyak waktu untuk meladenimu.”
Aku terdiam sesaat memikirkan apa yang musti kukatakan padanya.
“Kau lihat orang-orang di bawah sana, mereka telah tersihir karena kau dan lautmu. Kenapa mereka begitu terpesona padamu dan lautmu yang mana ia hanya menjadi sumber misteri yang tak kunjung sirna. Aku benci kau dan lautmu. Dan kau tahu, aku dan bukit yang berdiri ini? Kami sakit karena derumu yang berisik, kami benci pada hantamanmu yang kasar. Intinya, aku ingin kau dan lautmu musnah sekarang juga,” kataku panjang lebar.
“Hai, Anak manusia! Kau ingin tahu kenapa orang-orang itu terpesona padaku dan laut ini. Ketahuilah, kami tidak pernah belajar ilmu sihir, baik dari Tuhan kami maupun dari setan sekalipun. Kami terbuka mendengarkan keluh-kesan mereka. Meski kami diam tanpa susah payah mengucapkan huruf alfabet tetapi kami lantunkan dalam tasbih angin dan gelombang pasang surut yang mampu menumbuhkan hawa ketenangan bagi jiwa gersang mereka,” jawabnya panjang lebar pula.
“Hei, Anak manusia! Kenapa kau bertingkah seolah-olah kau adalah Tuhan yang menggenggam dunia? Kau tidak tahu sebenarnya tentang aku dan lautku yang selalu mengeluh ini. Aku begini karena inilah aturan yang Tuhan perintahkan pada kami. Kami hidup untuk-Nya dan kami musnah untuk-Nya pula. Karena-Nya kami ada dan kami pun bertasbih untuk keagungannya,” tambahnya.
“Kau memang menyebalkan,” sahutku.
“Hei, Anak manusia! Kaulah manusia yang sombong dan angkuh. Kenapa kau seperti Yajuj dan Majuj yang suka membuat kerusakan. Jiwamu telah kau biarkan pada nafsu kebencian yang telah disebabkan karena iri dan dengki. Kau tidak bisa menikmati laut seperti teman-temanmu karena kau tidak mengenal cinta. Kau gersang dan merana karena ulahmu sendiri. Tetapi kau salahkan yang ada di sekitarmu sebagai penyebab dari semua petakamu.”
“Tak usah menceramahiku, kau bukan guruku.”
“Aku memang bukan gurumu tetapi aku adalah tanda-tanda kekuasaan Allah SWT bagi orang yang mau berpikir.”
“Dasar sombong !”
Aku mencoba melemparkan granat ke arah laut dan dirinya agar ia membungkam mulutnya yang tak diam itu. Kucabut tarikan pada mulut granat itu dan mulai kulempar ke arah laut lepas.
Bukit Seribu goyah dan aku terhempas pada ombak yang menahan sakt. Dunia memutarku dari roda atas beralih ke roda bawah, aku terjungkir dan tiba-tiba segala permasalahan berkelebatan dalam otakku, seperti burung-burung yang berhulu lalang. Ia menggenggamku seketika bersama darah lautan yang hitam pasir dan aku merasa puas telah bersamanya. Dalam remuk tulang, dalam sakit yang telah terakit, dan hempasan terakhir, alam telah menunjukkan padaku akan nyaliku yang pemberani.
“Aku puas telah berbicara padamu meskipun sebenarnya aku masih ingin bicara dan bicara hingga akhirnya kutemukan di mana mulutmu.”
“Ombak, laut, dan kalian manusia dalam cinta laut, sampai kapanpun aku tak akan pernah mengetahui rahasia kenapa kalian begitu istimewa ketika bercengkrama. Hal itu karena aku tak pernah tahu apa itu cinta.”
0 comments:
Post a Comment