Aku mencintaimu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku merindukanmu seolah perasaan itu hanya milikku. Aku nyaris mati memikirkanmu. Aku ingin kau juga merasakan apa yang kurasakan ini...
Aku mengakhiri kata-kata itu dengan menutup diaryku. Aku menghela nafas yang terasa amat berat dan membiarkan diaryku di atas meja dalam keadaan tertutup. Pikiranku masih melayang jauh dari ragaka.
Aku mencintainya lebih dari siapapun. Walau aku tak pernah tahu rupanya. Aku belum pernah bertemu dengannya. Belum pernah melihat majahnya. Belum pernah menggandeng tangannya. Tapi entah mengapa aku bisa mencintainya. Apakah ini yang namanya cinta sejati? Ah... aku tak pernah tahu. Yang ku tahu hanyalah aku sangat merindukannya. Meski aku tidak bisa mengobati rasa rindu ini dengan membayankan wajahnya. Membayangkan senyumnya yang terindah.
Awalnya aku hanya iseng memberi nomor telponku. Tapi ternyata malamnya dia langsung menelponku. Kami berkenalan. Namanya Frans. Orangnya sangat dewasa, itulah kesan yang timbul saat aku ngobrol dengannya lewat telpon. Aku senang mendengarnya berbicara. Dia tidak seperti cowok-cowok yang ku kenal selama ini. Bicaranya sangat sederhana.
Dia mengajakku ketemuan hari sabtu sore. Aku mengiyakannya. Aku sangat senang karena akan bertemu dengannya. Hari itu akhirnya tiba. Tapi setelah satu jam menunggu orang yang di tunggu tidak juga muncul. Aku tidak menemukan orang dengan ciri-ciri yang dia berikan. Akhirnya aku meninggalkan tempat perjanjian.
Yeah... ternyata dia sama saja dengan orang-orang dunia chat lainnya. Suka membatalkan janji tanpa ngomong dulu.
Mungkin seharusnya hubungan kami hanya sampai saat itu saja. Tapi entah mengapa keesokan paginya aku sangat ingin mendengarkan penjelasannya. Alasan ketidakdatangannya kemarin. Aku menghubunginya saat itu juga. Saat aku baru bangun tidur.
Aku jadi merasa sangat bersalah sudah berprasangka buruk padanya setelah mendengar alasan ketidakdatangannya itu. Aku tidak tahu kalau dia ternyata mengalami kecelakaan kecil saat mau menemuiku.
Akhirnya kami jadi sering ngobrol lewat telpon. Hal ini menumbuhkan perasaan asing yang tidak ku kenal. Awalnya aku tidak menyadari perasaan apa itu, hingga akhirnya dia tidak menelponku selama seminggu. Entah mengapa aku merasa sangat rindu. Ingin tertawa bersamanya. Mendengar suaranya. Mendengar candaannya.
Aku mulai menyadari perasaan itu. Aku mencoba membendung cinta yang sudah menunjukkan kuncupnya itu. Namun aku kalah... aku tidak bisa menyimpan perasaan itu lebih lama lagi. Entah dari mana keberanian itu datang akhirnya aku putuskan untuk menelponnya. Aku ingin menyatakan perasaanku padanya.
Aku siap kalau nantinya aku akan ditolak dan kehilangan dia. Aku sudah membulatkan tekatku. Pagi itu juga aku menelponnya. Menyatakan perasaanku.
Tapi ini tak semudah yang aku bayangkan. Hampir satu jam lamanya aku terdiam tak mampu bicara. Sepertinya dia tahu apa yang aku pikirkan. Dia memberiku puisi yang dikutipnya dari lirik lagu padi ‘SIAPA GERANGAN DIRINYA’. Aku tak mampu bicara. Entah kemana perginya keberanian itu. Entah kemana hilangnya kata-kata yang telah kupersiapkan itu.
Sayup-sayp aku mendengar musik padi yang berjudul ‘MENANTI SEBUAH JAWABAN’.
Ya. Dia memang benar-benar tahu apa yang aku pikirkan. Akhirnya aku katakan juga semua isi perasaanku. Dia hanya diam. Mungkin dia sedang mencari kata yang sopan untuk menolakku.
“Benar sayang sama kakak?” tanyanya akhirnya.
“Ya,” jawabku yakin.
“Dhea gak tahu wajah kakak khan? Apa nanti gak nyesal waktu ngeliat kakak gak seperti yang Dhea harapkan?”
“Kak, Dhea sayangnya sama kakak, bukan wajah kakak.”
“Kakak juga sayang Dhea,” ujarnya. Aku sungguh bahagia mendengar kata-kata itu. “Tapi kakak pengecut. Kakak takut kalau Dhea bakal nolak kakak.”
“Kakak gak bohong kan?”
“Kakak sayang Dhea.”
Aku sungguh bahagia. Rasanya tidak akan ada yang bisa mengusik kebahagiaanku ini. Rasanya aku adalah orang paling bahagia sedunia. Aku orang yang paling beruntung.
Ah... andai terus seperti itu. Pasti aku takkan seperti ini sekarang.
Aku menyimpan diaryku ke dalam laci meja. Kemudian kuputar tembang padi, ‘MENANTI SEBUAH JAWABAN’. Tembang ini selalu kuputar saat aku merindukannya. Saat aku ingin di dekatnya. Ah... andai aku bisa berada di sisinya.
***
“Hei...!” sapa Eldo tiba-tiba hingga membuatku nyaris jatuh dari kursiku.
“Eldo. Lagi gak ada kerjaan ya?” sungutku sebal.
“Hehe.. aku kesal aja liat tampang kamu yang bete gitu. Jelek banget tau gak?” ujarnya sambil duduk di kursi sebelahku.
“Huh!” sungutku lagi. “Kamu tuh kapan sih bakal berubahnya?”
“Kamu tuh yang mesti berubah!” serunya sambil menggigit roti yang dari tadi dipegangnya. “Sampai kapan sih kamu bakal begini?”
“Maksud kamu apa sih? Aku gak ngerti.”
“Oya?” jeritnya dengan nada histeris yang sangat dibuat-buat. “Apa kamu gak sadar? Sejak kamu jadian dengan cowok internetmu itu kamu berubah. Aku gak pernah lagi ngeliat Dhea yang asik, ceria dan gaul. Kamu tuh sekarang aneh. Jadi sering bengong gak jelas, jadi suka murung pagi-pagi, gak pernah ketawa lagi. Kamu tuh terlalu mikirin dia, padahal belum tentu juga dia mikirin kamu. Kamu aja gak tau gimana wajahnya, dimana rumahnya, yang kamu tau hanya nomor telpon dan namanya. Sejak kalian jadian dia gak pernah nelpon kamu. Selalu kamu yang nelpon dia. Kenapa sih kamu selalu mikirin dia?”
Aku terdiam mendengar kata-kata eldo. Aku kesal. Ingin membantah tapi tak bisa. Semua yang Eldo katakan benar.
“Kenapa diam? Kamu marah?”
Aku menggeleng pelan. Mataku mulai panas hingga meneteskan air mata.
“Maaf ya, Dhea. Mungkin kata-kataku tadi keterlaluan,” ujar Eldo sambil membelaiku lembut.
“Do, kamu tuh temen aku. Kamu selalu baik sama aku, selalu ngertiin aku, selalu ngasih semangat sama aku, perhatian sama aku. Tapi kenapa? Kenapa dia gak seperti kamu? Kenapa dia cuek banget sama aku?” tanyaku sambil mencoba meredam isak tangisku.
‘Aku juga gak tahu kenapa. Aku bukan dia sih...”
***
Kata-kata Eldo tadi pagi selalu terpikir olehku. Memang benar aku selalu memikirkannya, merindukannya. Tapi sepertinya kak Frans tidak pernah memikirkan apalagi merindukanku. Buktinya dia gak pernah ada waktu untuk ketemu sama aku, bahkan nelponpun gak sempat. Seolah-olah hanya akulah yang menyayanginya. Perasaanku ini tidak pernah terbalas meski dia sudah mengatakan sayang padaku.
Ah... apa yang harusa aku lakukan? Aku tak bisa terus-menerus sabar dengan semua ini. Aku ingin bicara, ingin bertemu dan melihatnya.
Ya! Mungkin aku memang harus bicara dengannya. Aku harus menelponnya. Tanganku meraih handphone yang tergeletak di sampingku. Aku langsung menghubunginya.
“Hallo?” terdengar suara di seberang sana.
“Kakak ya?” tanyaku memastikan.
“Eh, Dhea. Ada apa?”
“Kak, Dhea pingin ketemu,” pintaku. “Kakak bisa?”
“Ng... maaf ya, Dhea. Kakak lai sibuk banget. Entar kalau kakak bisa kakak pasti langsung hubungi Dhea.”
“Huh! Lagi-lagi gak bisa. Kenapa sih kakak gak pernah ada waktu buat Dhea? Kakak gak sayang sama Dhea, ya? Apa kakak mau pacaran sama Dhea karena kasihan aja?” akhirnya aku tidak bisa lagi membendung rasa kecewaku. “Kakak boleh kok mutusin Dhea kalau kakak sudah bosan sama Dhea. Dhea bisa ngerti kok, Dhea ini hanya cewek SMA yang gak ada apa-apanya. Dhea gak cantik, gak seksi dan gak dewasa seperti teman-teman cewek di kampus kakak.”
“Dhea kenapa sih? Kok hari ini Dhea gak kayak biasanya?”
“Mungkin Dhea gak kayak biasanya di mata kakak. Itu karena Dhea cemburu, kak. Dhea cemburu sama teman-teman kakak, sama keluarga kakak, sama orang-orang di sekeliling kakak, orang-orang yang bisa berada di dekat kakak. Gak kayak Dhea yang hanya bisa terus-terusan berharap kakak nelpon Dhea, ngajak ketemu hingga Dhea bisa berada di dekat kakak. Kakak gak pernah ngerti perasaan Dhea. Kakak hanya memikirkan diri kakak sendiri. Ini ngebikin hati Dhea sakit kak,” kubiarkan air mata mengalir dan menetes membasahi wajahku.
“Maaf, kakak gak pernah menyadari semua itu. Maaf kalau kakak selalu memikirkan diri kakak sendiri.
“Dhea gak butuh maaf,” ujarku sambil menahan isakan yang mulai mengiringi air mataku.
“Dhea....” ku dengar suara lembut kak Frans yang selalu meluluhkan hatiku. “Kakak gak mau bikin Dhea nangis. Sekarang terserah Dhea mau gimana. Dhea yang pegang keputusan. Sekali lagi kakak minta maaf.”
Dhea pingin kakak hanya melihat Dhea, cukup Dhea. Dhea pingin kakak selalu ada buat Dhea. Ingin sekali rsanya aku mengatakan hal itu, tapi tidak bisa. Aku hanya diam membisu. Rasanya suaraku ini telah hilang tenggelam oleh air mata dan isakanku. Aku memutuskan telpon tanpa bicara apa-apa lagi sama kak Frans. Aku tidak sanggup untuk terus bicara dan mendengar suaranya. Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur hingga akhirnya terlelap.
***
Aku terpaksa memakai kacamata untuk menutupi mataku yang sembab karena menangis semalam. Aku tidak ingin Eldo tahu. Dia selalu menghiburku. Membuatku malu pada diriku yang selalu merepotkannya.
“Kamu ada masalah apa lagi?” tanya Eldo yang ternyata sudah berada di sampingku.
“Gak ada masalah apa-apa kok, Do,” jawabku sambil mencoba tersenyum.
“Jangan bohong! Kalau gak ada masalah kenapa kamu nangis?” tanya Eldo lagi. Ternyata kacamataku ini tidak dapat menipunya.
“Aku gak bohong kok. Lagian siapa yang nangis? Mataku ini sembab karena kelilipan kok,” aku mencoba berkilah.
“Dhea,” desak Eldo memaksaku mengatakan yang sebenarnya.
Aku terdiam menundukkan kepala. “Kamu ini suka ikut campur ya.”
“Terserah kamu mau berpendapat apa tentang aku. Aku hanya gak rela kamu sedih.”
“Kenapa kamu baik banget sama aku, Do? Kenapa perhatian yang aku harapkan dari dia justru aku peroleh dari kamu? Aku kecewa sama dia, Do,” untuk kesekian kalinya aku menangis di hadapan Eldo.
“Katakan semua yang ada di dalam pikiran kamu, Dhea! Agar kamu tenang dan tidak terbebani lagi,” ujar Eldo sambil merangkulku. Belaian tangannya terasa halus di rambutku. Ah... salahkah bila aku merasa nyaman di dekapannya?
“Do, kenapa kamu baik banget sama aku?” tanyaku. “Apa karena kita teman?”
Eldo mengangguk pelan. “Melihat kamu tersenyum adalah kebahagiaan terbesarku. Karena aku sayang kamu.”
“Makasih. Makasih karena sudah menyayangiku. Teruslah menjadi Eldo yang seperti ini! Jangan pernah berubah! Kamu mau janji?”
Eldo mengangguk.
Maafkan aku kak. Aku hanya ingin memperoleh perhatian dan kasih sayang itu. Hal yang sangat ingin ku peroleh dari kakak tapi tidak pernah kakak berikan.
***
Sudah sebulan sejak kejadian itu. Sekarang aku sudah jadian dengan Eldo meski belum ada kepastian mengenai hubunganku dengan kak Frans. Namun kurasa dia sudah melupakanku. Aku sudah mengganti nomor telpon dan handphoneku sehingga kami tidak akan pernah ngobrol nlagi. Tidak akan ada lagi komunikasi di antara kami.
Masa bodohlah dengan semua itu. Toh aku juga akan melupakannya. Sekarang yang harus kupikirkan hanyalah Eldo. Karena dialah orang yang kusayangi.
Sebentar lagi Eldo akan menjemputku. Dia mengajakku nonton konser padi. Aku memeriksa kembali penampilanku. Aku tidak ingin tampil mengecewakan.
“Dhea, kamu sudah cantik kok. Tanpa dandan aja kamu sudah cantik,” puji Eldo yang telah menungguku di pintu kamarku.
“Eldo? Sudah lama?”
“Baru aja,” jawabnya sembari tersenyum. “Yuk berangkat!”
Konser padi malam itu sangat ramai. Rasanya semua anak muda di kota ini berkumpul di sana. Sangking ramainya aku nyaris jatuh karena tertabrak seseorang.
“Maaf,” ujar pria itu.
Kenapa rasanya suara ini tidak asing bagiku?
“Dhea, kamu gak apa-apa?” tanya Eldo yang sangat mencemaskanku.
Aku menggeleng kecil. Aku baru saja hendak beranjak pergi tapi tanganku ditahan oleh pria tadi.
“Kamu Dhea?” tanya pria itu. Aku mengangguk mengiyakan. “Kamu gak ingat suara aku lagi, Dhea? Ini aku, Frans.”
Kata-kata itu nyaris membuatku pingsan. Dia orang yang sangat ingin aku lupakan. Kenapa aku harus bertemu dia?
“Kamu kemana aja sih Dhea? Gak satupun nomor telpon dan handphonemu yang bisa dihubungi.”
“Maaf, aku gak kenal kamu. Tolong lepaskan tanganku!” pintaku dengan hati hancur. “Mungkin kamu salah orang.”
“Gak mungkin, aku yakin kamulh Dhea yang aku maksud. Aku gak mungkin lupa suaramu.”
“Bukan aku, kamu salah orang,” kilahku. Sifat cengengku mulai kumat. Aku merasa mataku mulai panas.
“Kamu apakan Dhea?!” Eldo mencoba melindungiku.
“Dhea, kamu kenal kakak kan? Kamu ingat kakak kan?” kak Frans menatapku. Tak sanggub rasanya aku membohonginya lagi. Aku hanya terdiam tak dapat menjawab. “Ternyata Dhea benar-benar sudah ngelupain kakak. Kakak ngerti kok. Ini semua karena kesalahan kakak juga,” kak Frans berbalik meninggalkanku.
Akhirnya airmataku itu tumpah juga. Ternyata aku tak pernah bisa melupakannya.
“Jadi dia Frans? Dhea masih sayang sama dia kan?” tanya Eldo padaku. “Sudahlah! Jangan pedulikan aku! Aku gak apa-apa kok. Kejar dia, katakan rasa sukamu itu!”
“Eldo...” tak kusangka dia sangat menjaga perasaanku. Sampai-sampai dia rela mengorbankan perasaannya.
“Ayo sana, temui dia. Orang yang benar-benar kamu sayangi.”
Eldo, kenapa kamu baik sekali sama aku? Aku menyeka air mataku. Aku tak ingin tampak lemah di hadapan Eldo. “Makasih, Do. Kamu baik banget sama aku.”
Eldo tersenyum menatapku. Aku beranjak meninggalkannya dan berlari untuk meraih orang yang ku sayangi itu.
“Kak, Dhea gak pernah ngelupain kakak. Dhea selalu sayang sama kakak... perasaan ini gak bakal pernah pudar,” ujarku mengakui semua di hadapan kak Frans.
“Dhea, kakak juga sayang sama Dhea. Kali ini kakak gak bakal bikin Dhea nangis lagi,” janjinya sambil mendekapku.
Padi mulai menembangkan lagu ‘SIAPA GERANGAN DIRINYA’ seakan tahu perasaan kami saat ini. Perasaan yang penuh cinta.
“Aku baik sama kamu karena aku sangat sayang sama kamu Dhea,” bisik Eldo pad dirinya sendiri sambil terus menatap senyum Dhea. Senyum yang hanya dapat diciptakan oleh kehadiran Frans. “Jaga Dhea untukku Frans. Karena hanya ada kamu di hatinya.”
Eldo membalik badannya. Melangkah meninggalkan tempat di mana dia telah membuat keputusan terbaik dan terberat dalam hidupnya.
“Jadi orang baik itu ternyata gak mudah ya...” bisik Eldo pada dirinya sendiri.
Cukup Ada Aku di Hatimu selesai