Aku selalu berharap dan tak jarang jika aku terjatuh di tempat yang sama.
Terlihat bodoh, mungkin.
Tapi itu hanyalah sebuah klise belakang.
Kenyataan pahit menerima semua ini.
Kepergiannya membawa segelintir gelisah, tanpa kuketahui bagaimana cara mengatasinya.
Tercengkang oleh waktu, yang terus berputar.
Yang selalu meminta agar aku bangun dari tidurku yang lelap.
Tak pernah kuhiraukan, hiruk-pikuk nada mereka.
Yang secara tegas memberikan isyarat penting, untukku seorang.
“Carilah dan temukan sosok baru dalam diri orang lain.”
Begitulah, kata-kata yang masih terniang jelas di kepalaku, tepat di ingatanku.
Awal yang indah tak selamanya berakhir dengan indah.
Itulah yang aku alami.
Pahit yang kurasakan.
Desakkan suara tinggi mengintaiku, entah darimana berasal.
Api membara di sekujur tubuhku.
Rasa apakah ini ?.
Apakah namanya ? dan bagaimana bisa dia merasuki tubuhku, tepat di hatiku.
Sasaran yang empuk, sebagai mangsa.
Bila bukan cinta, mengapa aku tak merasakan apa-apa ?.
Hanya kehampaan yang aku rasakan.
Mengapa setengah hatiku menyimpan dirimu ?
Jauh di dalam lubuk hatiku bertanya.
Bila bukan sayang.
Mengapa aku ikhlas jika nantinya dia membuka lembaran lama bersama dia ?.
Tak tahu apa yang terjadi ke depan.
Mengapa hari-hariku tak lengkap tanpa kata-kata darimu ?
Bila bukan suka.
Mengapa mataku selalu mencari kemana bayangmu pergi dan telingaku mencari suaramu ?
Lalu kunamakan apa perasaan ini ?
Kau ada dimana-mana bahkan di hatiku, yeah tentu.
Tak mengenal dimensi, ruang ataupun waktu.
Kau ada dimana-mana, kecuali di hadapanku.
Jika benar dia akan meninggalkanku, menyisakan luka yang akan selalu membekas.
Mengingatkan memori-memoriku tentangnya.
Jika benar dia akan berhenti mencintaiku.
Membuang rasa yang ia miliki untukku, sejauh-jauhnya sampai-sampai hanya tuhanlah yang tahu tempat ia merahasiakan tempatnya.
Jika benar dia akan melupakanku, kenangan lama kita berdua dan semuanya.
Mungkin aku takkan menghindarkannya.
“Ya” , ucapku.
Aku telah tersadar dalam tidurku yang panjang.
Bahwa tak selamanya “kebahagiaan” menyertai hidupku.
Semuanya akan mengelilingiku, sedetik nanti mungkin aku akan mendapatkan kenyataan pahit.
Yang akan menggerogoti sebagian sel-sel di dalam tubuhku.
Namun, sedetik kemudiaan, kebahagiaan akan muncul.
Membawaku ke tempat yang indah dan nan megah.
Melebihi apapun dari dalam dunia ini.
Tak ada hotel mewah, berbintang lima, apartemen mewah, ataupun rumah minimalis yang menggiurkan.
Ini beda dari biasanya.
Kebahagiaan akan menghantarkanku ke tempat yang sesungguhnya.
Istana ataupun kastil.
Dia sebagai raja.
Dan aku sebagai ratu.
Kita berdua saling melengkapi, itu memang benar.
Pasangan kekasih saling melengkapi satu sama lain, dua sisi yang berbeda.
Bagaikan magnet, yang memliki kutub postif dan negative.
Dia yang memimpin kerajaan ini, dia adalah seorang penguasa yang bijaksana.
Dan menjadi andalan bagi semua penduduknya, tak terkecuali diriku.
Bangga melihatnya seperti ini, tak seperti dulu.
Tak ada lagi sosok yang akan menyakitiku lagi.
Tak ada lagi sosok yang akan membuatku menangis sepanjang malam.
Dan tak ada lagi sosok yang membuatku jatuh ke dalam lubang yang dalam.
Yang ada hanyalah, pasangan jiwaku.
Yang akan menemaniku sampai kapanpun.
Aku selalu berdoa bahwa tuhan akan memberikan sedikit kekuasannya untukku.
Untuk mengabulkan permohonanku sampai akhir hayatku.
“Bahagiakanlah aku, pasanganku dan seluruh orang yang aku sayangi, entah mereka sekarang berada dimana, di jangkauan dimensi yang masih sama sepertiku atau tidak, yang jelas aku ingin kebahagiaan selalu menyertai kami, dan jangan biarkan tetesan airmata ini mengalir seperti air yang selalu bergerak dengan leluasanya di laut yang hempas itu”.
Pertanyaan yang selalu mencegat hatiku.
Pertanyaan yang selalu menghantuiku, berpuluh-puluh tahun.
Pertanyaan yang selalu terniang di dalam otakku.
Pertanyaan yang selalu membuat energy di dalam tubuhku habis.
Pertanyaan yang selalu membuatku tersipu malu jika mengatakannya.
Pertanyaan yang selalu berjalan mundur-maju untuk menunggu jawabanku.
Dan pertanyaan itu akan segera terjawab.
“Siapakah raja itu ? Dimanakah dia berada ?”.
Jika dapat aku memutar waktu.
Berjalan lenggak-lenggok melihat sosokku nanti.
Di masa depan, masa sebagai penentu hidupku.
Melihat siapa pasanganku dan bagaimana kerajaanku nantinya.
Tapi jika aku bisa melihat masa depan dan mengubah segalanya.
Dengan kedua tanganku.
Kedua kakiku yang indah.
Dua puluh jemari yang selalu setia berada di tempatnya.
Sepasang mata yang bahagia karena dapat melihat sosok pasangan pemiliknya.
Sepasang telinga yang bisa mendengar nada indah yang terlantun dari bibirnya yang halus.
Hidung, yang bisa menghirup aroma tubuhnya, wangi melebihi parfum apapun yang tercipta dalam dunia ini.
Dan bibir yang nantinya bisa merasakan kecupan hangat darinya, yang akan merasakan kebahagiaan, lebih dari yang lain.
Mungkin, pertanyaan itu takkan pernah hidup.
Takkan pernah berhilir mudik di dalam tubuhku.
Hanya pertanyaan itulah yang aku nantikan jawabannya.
Yang hanya bisa di ungkapkan oleh waktu.
“Siapakah gerangan dia ? yang nantinya menjadi pasanganku dan memimpin sebuah kerajaan ?”
Kerajaan yang sudah kuberi nama tanpa seorang pemimpin.
“Kerajaan Esmeral”
Entah bagaimana nama itu dapat terbesit di dalam pikiranku.
Penantianlah yang akan menjawabnya.
Waktu, penantian, pertemukanlah aku dengan raja Esmeral J
***
Siapa yang tak ingin menjadi seorang ratu ?
Di singgasana yang megah.
Berbalut baja, berlapis emas.
Begitupun juga aku, ratu Emly.
Tak ada yang bisa melawan, jika yang berkuasa bertindak.
Sama sepertiku, ketika dicalonkan menjadi sang ratu.
Menggantikan posisi ratu Lory.
Saat anak sulungnya mengincarku.
Menjadikan aku sebagai buronan istana.
Menjadikan detik-detik hidupku sebagai akhir.
Tak ada yang terlewatkan.
Kebahagiaan yang terampas.
Kesedihan berlarut.
Kesengsaraan menepisnya.
Kehancuran mengakhiri semuanya, lengkap sudah.
Saat Maura mengambil harta yang paling berharga di hidupku.
Tak dapat di ukur oleh apapun.
Tak dapat dibeli oleh siapapun, karena aku takkan rela.
Tak bisa di lihat dari satu sisi.
Dia.
Pengawalku, sahabat karibku tepatnya.
Pralen, yang selalu menyandungkan irama merdu.
Menghapus titik air yang mengalir menuju pipiku.
Semua aura pancarnya yang lembut selalu hangatkan duniaku.
Ya. Duniaku yang begitu berwarna.
Kini dialah harta berharga satu-satunya yang aku punya.
Harta yang tak bisa dibeli dengan apapun.
Agrumen yang dia berikan untukku, selalu aku pelajari.
Sosok lelaki yang selalu mengayunkanku ke udara.
Yang mengajariku cara berkuda.
Yang memberikan kebahagiaannya demiku.
Dapatkah aku mengukur perubahan ini ?
Mengukur setiap inci perbedaan
Membandingakn skala perubahan.
Haruskah itu semua aku lakukan ?
Saat dia menjulukiku dengan bangau bodoh.
Mungkin pikirankulah yang mengungkapkannya.
Bangau yang Nampak bodoh ketika bersamanya.
Bangau yang tampak kerdil saat di sampingnya.
Ya. Tanpa sadar dia mengatakan itu kepadaku.
Bagaikan sinar mentari yang menyilaukan retinaku.
Bagaikan ombak yang bersenandung di saat pasang.
Bagaikan angin yang mengibas-ngibaskan helaian rambutku.
Bagaikan alunan melodi yang menghanyutkan.
Itu dia. Perasaanku saat disampingnya.
Dan sekarang, dia menjadi pasangan Maura.
Dibalik kebahagiaanku menjadi ratu.
Tersimpan sebuah kepedihan.
Kehilangan belahan jiwaku.
Yang mungkin, memerlukan waktu panjang untuk menggapainya kembali.
Entah mantra apa yang digunakan Maura.
Tak ada gairah yang ditonjolkan Pralen saat bersama pasangannya.
Tak ada kebahagiaan.
Dia tidak bisa bersandiwara, ataupun berbohong.
Terhadapku.
Aku mengenalnya melebihi siapapun.
Sulit untuk menyadari bahwa sorot matanya tak menunjukan kebahagiaan.
Yang ada hanyalah, keterpaksaan.
Saat aku diangkat menjadi ratu.
Disaat itu pula, aku mengalami kesiksaan batin.
Tak terbendung lagi sakitnya.
Tak ada satu orangpun yang mengetahui keadaanku.
Sandiwaralah yang berperan besar dalam ini semua.
Aku, Pralen dan Maura.
Lantunan melodi indah tak mampu mengontrol emosiku.
“Jangan menangis, aku tahu kau sangat kuat.”
Bisikan itu, dia membisiku.
Saat memberiku senyuman, dia mengucapkan sebuah kata.
“Kuat”
Untukmu, aku akan kuat, Pralen J
***
Ingatan ini.
Ingatan yang menuju ke masa lalu.
Begitulah pikiranku menyebutnya.
Tak perduli dengan waktu yang selalu berputar.
Tak perduli dengan jarum jam yang selalu bergerak.
Tak perduli dengan musim yang silih berganti.
Tak perduli dengan singgungan mereka.
Caci maki dari mereka kuhiraukan.
Hujatan yang bertubi-tubi menjatuhkanku, kutebas dengan pisau.
Seharusnya aku tak perlu merasa takut.
Aku tak perlu merasa kehilangan.
Bagaimanapun, sekarang aku adalah seorang ratu.
Ratu yang memimpin kerajaan ini.
Aku takkan bisa lagi meraih hatinya, Pralen.
Kubuaang pikiran itu jauh-jauh.
Kecaman yang dilontarkan ingatanku.
Kemungkinan besar, ketidaksukaannya dengan tingkahku.
Ingatan tak ingin membiarkanku bersedih.
Aku bisa menyadarinya.
Siapa yang bersedia memilih kehidupan penuh konflik dan kesedihan ?
Siapa yang sanggup memimpin kerajaan yang megah ini dengan seorang diri ?
Bagaimana bisa rasa percaya dibeli ?
Seluruh uang di dunia ini tak cukup membelinya.
Uang memang tak pernah bisa menjadi suatu tindak ukuran.
Rasa percaya dan uang ada di dimensi yang sama sekali lain.
Mendadak sesuatu menyusupi hampaku.
Rasa sedih.
Masa gemilang itu datang, sekejap dan tak lebih dari sebuah drama besar.
Sebuah drama queen.
Ludahku terasa memahit.
Baru kali ini aku merasa prihatin dengan diriku sendiri.
Kesendiriaan melandaku.
Kalau aku bisa, ingin aku mengirim kembang tanda dukacita.
Tak punya rasa percaya, tak ada kebanggan.
Hampa.
Aku merenungi kesendiriaanku.
Bagaimana hampa bisa menyakitkan ?
Hampa harusnya berarti tidak apa-apa.
Tidak ada apa-apa berarti tidak ada masalah.
Termasuk rasa sakit.
Keheningan seakan memiliki jantung.
Denyutnya terasa satu-satu.
Membawa apa yang tak terucap.
Sejenak berayun di udara, lalu bagaikan gelombang air bisikan itu mengalir.
Sampai akhirnya berlabuh di hati.
Ingatan ini begitu berharga.
Ketika kami berjalan berdua.
Melintasi perbukitan.
Menjelajahi lorong bawah tanah.
Semuanya kami lalui.
Dengan berdua dengannya, aku melupakan kasta antara kami.
Dia pengawalku di kehidupan nyata, tapi tak begitu denganku.
Di hatiku, di duniaku, dialah pasangan jiwaku.
Lebih dari seorang pengawal, walaupun dikatakan pengawal juga.
Dia adalah pengawal hatiku.
Penjaga hatiku yang setia.
Begitulah pengibaratanku untuknya.
Pralen, si penjaga hatiku yang damai berada di tempatnya J
***
Bisakah aku mengukur perasaanku dengan Pralen ?
Adakah alat untuk mengukurnya ?
Kesalahan demi kesalahan aku lakukan.
Tanpa tahu dimana celah kebenaran berada.
Kesakitan, kepedihan, tak perlu dihitung kembali.
Berapa banyak airmata yang aku jatuhkan ?
Bearap banyak manusia yang aku sakiti ?
Demi mementingakn perasaanku, aku membuat mereka terluka.
Terluka karena keputusanku, keegoisanku.
Bagaimana cara menghapus ego dari diriku ?
Haruskah aku membongkar tubuhku dan menemukan letak egoku ?
Lalu aku meminta mereka untuk membuangnya, dan merekatkan kembali tubuhku.
Begitukah seharusnya ?
Hanya karena aku kehilangan teman bicara.
Aku melukai perasaan mereka.
Tak ada yang lebih baik dalam kondisi seperti ini.
Bagaikan berdiri di tengah api yang berkobar.
Berjalan di lautan api yang tajam.
Meringis kesakitan tanpa seseorang yang mengetahuinya.
Peramalpun tak bisa menebak kondisiku.
Tak ada yang tahu bagaimana aku bertindak.
Bagaimana aku menghentakkan kakiku ke singgasana.
Tak ada yang bisa menyadari kepedihan yang tengah aku rasakan.
Walau tak pintar berbohong.
Tapi aku pintar menyembunyikan kebenaran.
Begitulah aku berkerja, selalu begitu.
Tak perduli siapa yang aku tipu, aku terus melanjutkan caraku.
Pantaskah aku menjadi seorang ratu ?
Setelah kebinasaan aku lakukan.
Pantaskah ?
Atau aku lebih pantas menjadi dayang-dayang istana ?
Haruskah aku berubah seperti itu ?
Demi membalas perasaanku yang menjanggal.
Menangispun tak ada gunanya.
Meringispun juga tak berguna sekarang ini.
Frontal memang.
Kondisiku saat ini tak bisa dijabarkan dengan apapun.
Berlari sekencang-kencangnya.
Meninggalkan istana ini, ke luar dari negeri ini.
Ingin sekali aku melakukannya.
Mencoba menghilang.
Seperti di telan dimensi.
Dapatkah itu terjadi ?
Bagaimana seorang peramal kerajaan tak bisa menggambarkan kehidupanku di masa depan ?
Bagaimana bisa begitu ?
Tak bisa aku mengetahui masa depanku, sedangkan ratu yang lain ?
Mereka semua bisa, terkecuali aku.
Ilham apa yang tuhan berikan untukku ?
Aku tak bisa melakukan apapun.
Aku seorang ratu yang lemah.
Tak berdaya dan mudah putus asa.
Bukan cerminan dari seorang ratu.
Tapi aku bersyukur, karena aku tak picik seperti Maura.
Merebut Pralen dariku.
Dustaku jika aku tak merasa kehilangan.
Kebohongan macam apa ini ?
Sebegitu mudahkah bagi Pralen ?
Kepalaku pening, tak bisa merasakan apa-apa.
Lantas jika aku bersedih seperti ini, bagaimana dnegan kerajaanku ?
Akankah kerajaan yang aku pimpin hancur melebur ?
Saat aku mencari seorang pemimpin, disaat itu juga hantaman ombak datang.
Pangeran negeri seberang meminangku.
Menginginkanku menjadi permaisurinya.
Tak ada satu pangeranpun yang tak tampan.
Begitu juga dengan pangeran Mayer.
Sekali melirik matanya, aku dapat terjatuh hampa.
Sinar yang terpancar dari matanya.
Membuatku merasakan sesuatu sensasi.
Entah bagaimana aku bisa merasakannya.
Tapi, aku tak bisa menerima pinangannya itu.
Karena hatiku tak memilihnya.
Hatiku memilih Pralen, dan sebaliknya hatiku dipilih Pralen.
Tak ada yang bisa membohongi perasaan.
Termasuk aku.
Termasuk jiwaku.
***
Kepingan hati ini tak bisa disatukan.
Satu kepingan itu telah menghilang.
Entah sekarang berada dimana.
Bagaikan sebuah puzzle.
Yang tak bisa tersusun jika kepingan yang satu tak ada.
Seperti hatiku kali ini.
Tak dapat disusun kembali.
Miris sekali bukan ?